Bukan Lebih Baik Sedikit tapi Ikhlas, yang Benar Banyak dan Ikhlas

Sahabatku yang dirahmati Allah, semakin jauh dari jaman Rasulullah semakin aneh saja pertanyaan dan pernyataan yang akan kita dapati. Sebagaimana sebuah pernyataan tentang besarnya infak atau sedekah. Banyak yang akan menyatakan ‘lebih baik sedikit asal ikhlas.’

Di Jaman Rasulullah, Ikhlas Itu Identik dengan Banyak

Hal ini sangat jarang dijumpai di jaman Rasulullah. Pernah suatu ketika beberapa orang sahabat Madinah menyedekahkan kurma yang tidak layak jual. Maka Rasulullah pun menegur dengan firman Allah.

Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji” (QS. Al Baqarah: 267)

Ternyata Allah sendiri melarang ketika bersedekah, kita memberikan apa yang tidak lagi berharga, seadanya dan sekenanya. Dan tandanya adalah apabila kita mendapatkan apa yang kita sedekahkan kita juga tidak senang.

Maka pengorbanan dalam jumlah kecil, sedikit, remeh, gampang diberikan, yang bila kita sendiri menerimanya kita akan merasa enggan, justru tidak dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Besar Itu Relatif, Benar Nggak?

Tapi seringkali kecil dan besar itu berbeda. Ada orang yang menganggap bahwa jumlah harta yang ia berikan itu kecil tapi bagi orang lain besar, begitu sebaliknya. Maka yang bisa dijadikan patokan adalah keterikatan hati dengan harta yang diberikan.

Salah seorang sahabat Nabi, Abu Aqil pernah memberikan sedekah setengah sha’ (bila diuangkan jaman sekarang setara dengan Rp 15.000). Beberapa orang munafik mencibir apa yang dilakukan oleh Abu Aqil. Mereka mengatakan bahwa Allah tidak membutuhkan sedekah yang dalam jumlah kecil seperti itu.

Namun sahabatku, sahabat Abu Aqil bersedekah seperti itu setelah ia bekerja sebagai kuli angkut. Bagi seorang kuli angkut di pasar yang sehari mendapatkan kurang dari Rp. 50.000 dan mensedekahkah Rp 15.000-nya bukankah itu jumlah yang besar?

Baca juga : Bila Ini Adalah Perintah Allah, Maka Ia Tidak Akan Menyia-nyiakan Hamba-Nya

Umar bin Khattab ra. juga pernah mendapatkan seekor hewan kurban dengan harga fantastis, 300 dinar. Atau kalau sekarang harga hewan tersebut mencapai 145 juta rupiah. Hewan kurban tersebut memang istimewa. Harganya memang berkualitas sebagaimana wujud barangnya.

Umar mengira daripada satu hewan ini apakah tidak lebih baik bila yang dikurbankan adalah unta saja. “Dagingnya pasti lebih banyak.” Tapi ketika ditanyakan kepada Rasulullah, ternyata ia tetap diminta berkurban dengan hewan berharga 145 juta.

Ukurannya Kecintaan pada Harta

Bagi orang yang bersedekah, berinfak atau berkurban, bukan manfaat yang menjadi ukuran. Yang berharga adalah kesediaan mereka untuk memberikan yang terbaik atas nama Allah.

Semakin besar kerelaan mereka dalam memberikan yang dicintai atas
nama Allah, semakin besar kebaikan yang akan mereka dapatkan sebagai balasan. Karena apalah artinya memberi bila yang diberikan adalah sesuatu yang memang tidak dicintai.

Sahabatku, kita pasti masih ingat dengan kisah Qabil dan Habil, anak-anak Nabi Adam as. yang diminta untuk memberikan kurban atas nama Allah. Ketika Habil hendak dinikahkan dengan saudara perempuan Qabil, Qabil menolaknya.

Sehingga dengan petunjuk Allah, Nabi Adam as. meminta kedua putranya ini membuat kurban. Bagi siapa yang kurbannya diterima Allah maka ia berhak menikah dengan saudara perempuan Qabil.

Habil adalah seorang peternak. Ia memberikan ternak terbaik yang ia miliki. Sedangkan Qabil adalah seorang petani. Namun dalam kurban ini ia memberikan yang jelek, yang tidak layak, seadanya dansekenanya.

Kelanjutan kisah ini sudah kita ketahui bersama. Allah kemudian menerima kurban dari Habil saja. Dan Qabil yang kecewa kemudian membunuh Habil.

Maka pernyataan ‘lebih baik kecil asal ikhlas’ sebenarnya tidak tepat. Pengorbanan yang kecil, remeh, tidak signifikan, sekenanya dan seadanya malah tidak diterima oleh Allah.

Sesuatu yang dinilai sebagai sebuah pengorbanan adalah yang besar. Tapi besar bukan dalam hal jumlah dan ukuran. Besar karena memiliki ikatan cinta kuat dalam hati kita. Namun atas nama cinta kepada Allah yang jauh lebih besar, kita merelakan ikatan cinta dengan selain Allah itu tunduk.

Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Ali Imran: 92)

Semoga Allah senantiasa menjaga hati kita agar ikatan cinta kepada-Nya menjadi ikatan cinta yang terkuat dan terbesar melebihi ikatan cinta selain kepada-Nya.

Wallahu a’lam.

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *