Kisah Nabi Yakub Singkat – Teladan Mendidik Keluarga

Sahabatku, kisah keluarga yang paling baik dalam Quran adalah dari Nabi Allah, Yakub dan Yusuf alaihimassalaam. Di dalamnya dikisahkan tentang perjalanan Yakub dan putra-putranya dalam menjalani kehidupan di dunia. Simak kisah Nabi Yakub singkat berikut ini.

Banyak pelajaran tentang kebaikan dan cara dalam bersikap dalam keluarga. Bagaimana bila tenyata putra-putri kita ternyata tidak menjadi sebagaimana yang kita harapkan? Apa yang sebaiknya kita lakukan? Berikut adalah beberapa pelajaran yang muncul dalam kisah di atas.

1. Apabila ada ketimpangan dalam perhatian dan kasih sayang, akan terjadi kecemburuan.

Hal ini dirasakan oleh saudara-saudara Yusuf yang melihat ayahnya lebih mencintai Yusuf dan saudaranya (Bunyamin) dari pada mereka.

(Yaitu) ketika mereka berkata: “Sesungguhnya Yusuf dan saudara kandungnya (Bunyamin) lebih dicintai oleh ayah kita dari pada kita sendiri, padahal kita (ini) adalah satu golongan (yang kuat). Sesungguhnya ayah kita adalah dalam kekeliruan yang nyata.(QS. Yusuf: 12)

Maka pelajaran yang kuat adalah, walaupun mungkin kasih sayang dan perhatian adalah urusan hati yang terkadang tidak bisa dipaksakan, namun sebagai orang tua, kita tetap harus menunjukkan perhatian dan kasih sayang yang sama bagi tiap anak. Bila tidak, maka akan muncul kecemburuan dan memunculkan persaingan atau permusuhan yang terjadi antara sesama saudara.

Baca juga: Khianatnya Istri Nabi Luth Tidak Seperti Yang Kubayangkan

2. Tetap menunjukkan kepercayaan, kasih sayang, dan kesabaran meski seringkali anak-anak kita melakukan sesuatu yang telah kita larang.

Mereka datang membawa baju gamisnya (yang berlumuran) dengan darah palsu. Ya’qub berkata: “Sebenarnya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu; maka kesabaran yang baik itulah
(kesabaranku). Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan.”(QS. Yusuf: 18)

Terkadang memang berat ketika keluarga kita, orang yang kita cintai ternyata melakukan hal-hal yang tidak kita sukai. Bisa jadi pilihan banyak orang adalah dengan marah dan menyalahkan.

Namun sungguh mulia contoh yang diberikan Ya’qub. la tetap bersabar meski ia tahu bahwa merekalah yang melakukan maksiat dengan membuang Yusuf.

3. Senantiasa mengembalikan semua kepada Allah SWT.

Ketika Yusuf yang telah menjadi bendaharawan Mesir, ia menginginkan agar saudaranya, Bunyamin, datang. Ia meminta saudara-saudaranya agar datang bersama Bunyamin.

Dan ketika hal ini disampaikan kepada Ya’qub, ia merasakan keraguan dan kekhawatiran yang besar bahwa kejadian Yusuf akan berulang kepada Bunyamin. Namun ia tetap tegar dan menyerahkan semuanya kepada Allah SWT.

Ya’qub berkata: “Aku sekali-kali tidak akan melepaskannya (pergi) bersama-sama kamu, sebelum kamu memberikan kepadaku janji yang teguh atas nama Allah, bahwa kamu pasti akan membawanya kepadaku kembali, kecuali jika kamu dikepung musuh.” Tatkala mereka memberikan janji mereka, maka Ya’qub berkata: “Allah adalah saksi terhadap apa yang kita ucapkan (ini).”(QS. Yusuf: 66)

Dan memang demikianlah seharusnya seorang muslim. Semua perkara dalam hidup ini bukan kita yang menentukan namun Allah.

Oleh sebab itu yang paling tepat adalah mengembalikan semua perkara kepada Allah. Dia-lah yang menentukan apa yang terbaik bagi kita. Karena bisa jadi hal itu menyenangkan tapi buruk bagi kita, dan sebaliknya bisa jadi hal itu menyakitkan tapi baik bagi kita. Terlihat dalam kisah Nabi Yakub yang singkat ini ketegarannya teruji.

4. Selalu mengingatkan agar tidak berputus asa dalam rahmat Allah untuk melakukan kebaikan.

Bisa jadi dalam pandangan manusia usaha dan kebaikan yang kita lakukan tidak membuahkan hasil apapun. Namun bukankah hasil itu hak Allah, yang bisa kita lakukan adalah berusaha.dengan usaha yang terbaik dan menyerahkan sepenuhnya urusan hasil kepada Allah.

Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (QS.Yusuf: 87)

5. Tetap membukakan pintu maaf bagi keluarga kita.

Anak-anak dan istri kita adalah manusia sebagaimana kita juga manusia. Dan sudah menjadi watak manusia untuk melakukan kesalahan dan lupa. Oleh karenanya, tetaplah membuka pintu ampunan bagi mereka. Senantiasalah memintakan ampun kepada mereka.

Mereka berkata: “Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa).” Ya’qub berkata: “Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Yusuf: 97-98)

Demikianlah sahabatku, kisah Nabi Yakub singkat dengan segala pernak-pernik kehidupannya. Kelima pelajaran di atas mungkin masih kurang sempurna. Namun semoga apa yang tersampaikan bisa memberikan pemahaman dan pengetahuan serta meningkatkan iman kita kepada Allah SWT dan menambah kejelasan sikap kita ketika berhadapan dengan keluarga kita.

Berbuat adil kepada semua anak dalam keluarga kita, tetap menyayangi meski mereka melakukan kesalahan, menyerahkan semua kepada Allah sebagai Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Tetap optimis dan bersemangat dalam melakukan kebaikan, dan senantiasa membukakan pintu maaf bagi keluarga kita semua. Demikianlah kondisi orang tua yang telah dicontohkan oleh Ya’qub AS. Semoga kita bisa mencontohnya.

Wallahu A’lam bish Showab

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *