Kisah Nabi Ibrahim meninggalkan Hajar dan Ismail di Mekkah adalah pelajaran berharga. Sering peristiwa ini dikisahkan berkenaan Idul Adha yang rutin kita lakukan. Namun seringkali karena rutinnya tersebut kita malah melewatkan pelajaran penting yang ada di dalamnya. Banyak peristiwa-peristiwa besar yang layak menjadi perhatian kita untuk memperkuat keimanan kita
Ibrah yang Diulang-Ulang
Sahabatku, kisah soal penyembelihan Ibrahim selalu diulang di khutbah-khutbah Idul Adha.
Dikisahkan betapa Ibrahim diberikan ujian yang super dahsyat ketika itu. Ia diminta untuk menyembelih putranya sendiri. Sungguh sebuah ujian yang mungkin tidak bisa kita laksanakan sekarang ini.
Seorang ayah merindukan buah hati dan selama beberapa tahun. Ia di usia yang semakin senja akhirnya mendapat sebuah kabar gembira yang diberikan Allah. Ia akhirnya dikaruniai seorang putra. Namun ketika anaknya beranjak dewasa, Ibrahim mendapatkan ujian. Namun kali ini ada sebuah kisah keluarga Ibrahim yang patut kita perhatikan.
Baca juga: Membangun Keluarga Syurga
Ke Mana Engkau Pergi Ibrahim?
Suatu hari Ibrahim mengajak Hajar dan anak mereka, Ismail yang masih bayi pergi ke sebuah daerah. Daerah itu gersang, tandus, dan tidak terlihat sedikitpun perkampungan atau manusia di sana.
Tiba-tiba Ibrahim meninggalkan mereka. Hajar, sang istri, tidak memahami. “Mengapa Ibrahim, seorang Nabi Allah meninggalkan dirinya?” Ia pun memegang jubah Ibrahim. “Engkau mau ke mana? Apakah engkau akan meninggalkan kami sendirian di padang yang gersang ini dengan hanya bekal sekantung kurma?”
Ibrahim tidak menjawab.
Hajar kembali bertanya, “Engkau hendak ke mana? Apakah engkau akan meninggalkan kami seorang diri?”
Ibrahim pun tidak menjawabnya.
Kembali Hajar pun bertanya, “Engkau hendak ke mana? Apakah engkau akan meninggalkan kami sendirian di sini?”
Tapi tetap saja Ibrahim tidak menyahut.
Hajar merasa ada yang ganjil dengan suaminya. Ia bertanya dengan pertanyaan yang berbeda, “Apakah ini adalah perintah Allah?”
Ibrahim menoleh dan menjawab, “Iya benar, ini adalah perintah Allah”. “Bila memang ini adalah perintah Allah maka Allah tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya” Jawab Hajar.
Dalam hati kita mungkin akan bertanya-tanya. “Keluarga macam apakah ini?” Si Ayah meninggalkan istri dan anaknya yang bayi dalam keadaan kekurangan dan di daerah yang minim persediaan untuk menopang hidup. Dengan hanya berbekal sebuah kalimat “ini adalah perintah Allah” semua kemudian menjadi terselesaikan dengan sendirinya.
Aneh alias tidak wajar contoh yang diberikan Allah ini. Dan memang demikianlah Allah memberikan contoh dengan contoh yang sangat tegas.
Tunduk dan Patuh Hanya Kepada Allah
Kisah Nabi Ibrahim meninggalkan Hajar dan Ismail mengajarkan ketundukan dan kepatuhan kepada Allah adalah sebuah pondasi keluarga yang solid dan kuat, baik di dunia maupun di akhirat insya Allah.
Sahabatku, contoh yang asing ini memberikan sebuah ibrah yang besar kepada kita. Apakah kita sudah memberikan keluarga kita contoh ketaatan kepada Allah?
Bisa jadi sekarang ini, menguasai Al Quran sudah tidak menjadi trend. Bisa jadi pengajaran shalat, akhlak yang baik di rumah tangga tidak semarak.
Namun Islam ini bukan sebuah ajaran yang berdasarkan trend dan kesemarakan di dunia. Ia memiliki aturan tersendiri yang sudah diputuskan oleh Allah swt. Dan kembali, bisa jadi orang tua mengajarkan Al-Quran bukan sebuah trend dan bahkan keanehan.
Tapi sebagaimana Ibrahim dan keluarganya, ia adalah sebuah jalan ketundukan pada aturan-Nya semata.
Bisa jadi memberikan teladan yang baik kepada keluarga sudah menjadi sesuatu yang jarang dijumpai sekarang ini.
Namun bukankah ini adalah sebuah contoh ketundukan kepada Allah yang menjadi tujuan hidup umat Islam.
Sahabatku, bisa jadi ketundukan kepada Allah melukai logika, kasih sayang dan perhatian terhadap hal-hal yang kita sayangi. Dan memang Allah sengaja menghadirkan rasa cinta, kasih dan sayang kepada manusia untuk menguji siapakah yang sebenarnya layak dicintai dan dipatuhi.
Kisah Nabi Ibrahim meninggalkan Hajar dan Ismail telah memberikan sebuah pelajaran yang penting bagi kita semua bahwa, seberapa besar apapun cinta dan kasih sayang kita kepada yang kita cintai, tidak pantas bila itu melebihi kecintaan dan ketundukan kita kepada Allah SWT.
Ya Tuhan, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan (yang demikian itu) agar mereka melaksanakan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur. (Q.S. Ibrahim: 37)
Semoga kita semua bisa melewati ujian keimanan dengan judul kecintaan yang utama hanya kepada Allah semata.
Wallahu A’lam